Sanksi Sosial Sebagai Upaya Meningkatkan Penalaran Moral dan Menjadi Efek Jera Bagi Koruptor

Rabu, 26 Januari 2022

Ilustrasi

Putri Malfrita (190301216)

Anjelita Sari (190301236)

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Riau 2022

 

Pendahuluan

Telah terjadi kasus korupsi pada DPRD Tual tahun 2010 senilai Rp3,145 miliar. Ini merupakan perbuatan dari para individu yang tidak bertanggung jawab, yaitu Ade Ohoiwutun selaku Bendahara Pengeluaran bersama mantan atasannya yaitu Dra M Kabalmay selaku Sekretatis DPRD. Mereka melakukan tindak pidanan korupsi dengan pengadaan Makan Minum DPRD kota Tual Tahun Anggaran 2010 senilai Rp3,1 M.

Ade Ohoiwutun merupakan buronan Kejaksaan selama tiga tahun karena kasus ini, dan baru ditangkap pada Kamis (23/9/2021) di Kota Depok. Ade beserta rekannya telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan telah menimbulkan kerugian finansial negara sebesar Rp3,145 miliar.

Kasus serupa juga sering terjadi pada badan pemerintahan. Contohnya yaitu kasus pada auditor Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang bernama wulung, ia menerima suap sebesar Rp80 Juta dari pejabat Kemendagri agar memberikan opini WTP pada Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil (DUKCAPIL) Kemendagri pada 2010.

Pembahasan

Sebagai seorang bendahara pengeluaran atau bisa dikatakan sebagai seorang akuntan pemerintahan ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan untuk keperluan belanja negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada Kantor/Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga. Bendahara Pengeluaran merupakan kunci sentral dalam pengelolaan dan tanggungjawab masalah keuangan Negara dan untuk menduduki jabatan tersebut dibutuhkan kemampuan dan profesionalisme yang tinggi.

Akan tetapi pada kasus korupsi DPRD Tual tersebut, seorang bendahara Pengeluaran bernama Ade ohoiwutuan tidak menjalankan tugasnya dengan benar dan tidak adanya rasa tanggungjawab dan merupakan pelanggaran terhadap etika profesi. Maraknya skandal etis yang terjadi khususnya pada dunia profesi akuntan mencerminkan adanya krisis etis yang melanda dunia etika bisnis dan profesi. Ini menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap para akuntan public. Begitu pula dengan kasus suap yang dilakukan oleh wulung, seorang auditor Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

Ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih mendewakan materi, maka dapat memaksa terjadinya permainan uang dan korupsi. Korupsi akan terus berlangsung selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang kekayaan dan selalu melalaikan tugas serta tanggungjawabnya. Maka dari itu penalaran modal (Moral reasoning) memainkan peran kunci dalam etika akuntan.

Penalaran moral merupakan pemikiran tentang masalah moral. Pemikiran itu merupakan prinsip yang dipakai dalam menilai dan melakukan suatu tindakan dalam situasi moral. Penalaran moral adalah kemampuan seseorang untuk memutuskan masalah moral dalam masyarakat dalam situasi yang kompleks (konsep dasar) dengan menilai terlebih dahulu nilai-nilai sosial dan nilai dari tindakan apa yang akan dia ambil. Sementara itu pada kasus korupsi ini, seorang koruptor yaitu Ade ohoiwutuan dan wulung tidak mempunyai penalaran moral yang baik, atau bahkan mempunyai penalaran moral yang sangat rendah sehingga ia melakukan pelanggaran moral dan etika.

Untuk meningkatkan penalaran moral para koruptor, sanksi psikososial menjadi solusinyaSanksi sosial dianggap sebagai hukuman psikososial yang efektif karena dinilai memberikan efek jera dari perspektif penalaran moral individu pelaku korupsi.

Salah satu faktor sosial penghambat korupsi adalah kontrol pranata-pranata sosial. Semua pranata sosial memiliki arti fungsional di luar budaya di mana semua masyarakat memiliki sistem untuk mendefinisikan harapan untuk peran social yang saling melengkapi. Hal ini sesuai dengan temuan bahwa semakin besar jumlah pejabat korupsi, semakin besar kemungkinan pejabat lain akan melakukan transaksi korupsi. Artinya, bagaimana sikap menerima dalam lingkungan sosial dan persepsi individu terhadap korupsi mempengaruhi keberlangsungan korupsi..

Secara konseptual, sanksi sosial adalah suatu bentuk hukuman yang dirancang untuk memberikan rasa malu kepada pelaku pelanggaran nilai, norma, dan moral yang berlaku di masyarakat. Alasan pernyataan tersebut adalah karena ada fenomena bahwa ketika para terdakwa dan narapidana korupsi muncul di layar kaca, mereka justru bahagia, tersenyum, dan melambaikan tangan. Oleh karena itu, memposisikan terdakwa dan terpidana sebagai pihak yang melanggar nilai-nilai kebaikan, cacat moral merupakan bagian dari efek jera tambahan.

Konsep moralitas lebih merupakan konsep yang filosofis (etis) daripada sekedar konsep perilaku. Dia menyimpulkan bahwa struktur moral yang esensial adalah prinsip keadilan, dan esensi keadilan adalah pembagian hak dan kewajiban yang diatur di bawah konsep “kesetaraan” dan “timbal balik” Dalam pandangannya, moralitas bukanlah aturan tindakan, tetapi alasan untuk bertindak.

Negara-negara dengan infrastruktur teknologi yang berbeda telah menciptakan sistem perpajakan, sistem pelacakan, sistem antikorupsi, dan sistem lain yang membantu pemerintah negara dan negara yang bekaitan dengan melakukan kegiatan pemerintah yang transparan. Selain itu, sistem ini terbuka untuk pengawasan publik oleh pemerintah, sehingga mengurangi korupsi. Korupsi dapat meningkatkan kemungkinan jurnalisme publik. Melalui media sosial, jurnalisme publik dapat melaporkan ketika media tradisional gagal, ketika media sangat berpengaruh atau dikendalikan oleh Negara atau otoritas lain, atau ketika media yang disediakan tidak cukup untuk meliput berita. Jurnalisme publik dapat dilihat sebagai ide yang memenuhi syarat untuk memantau pranata sosial.

Usaha pemerintah Republik Indonesia dalam memberantas korupsi sudah dilakukan Sejak B.J. Habibie mengundang Komnas HAM untuk membahas konsep panitia independen pemberantasan KKN (Lopa, 2001). Sebagai bentuk negara hukum, langkah pertama yang diambil oleh pemerintah Indonesia adalah berpedoman pada undang-undang antikorupsi, antara lain Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999. Kemudian terdapat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang tersebut dibuat sebagai bentuk pencegahan dan ancaman terhadap calon pelaku korupsi.

Pemerintah juga membentuk komite yang disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003. KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. Hingga tahun 2010, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Semma, 2002).

 Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pelaku atau terdakwa korupsi dapat dikenakan denda dan penjara. Namun, tidak ada informasi lebih lanjut dalam nomor resmi yang menjelaskan hukuman untuk mendidik secara intrapersonal. Maridjan (Koran Harian Kompas, 24 Agustus 2012) mengemukakan bahwa hukuman sosial didefinisikan sebagai “dipenjara” dalam masyarakat, tetapi dampak dari hukuman tersebut tampaknya tidak kurang dari hukuman fisik. Pencegahan mendukung dan memperkuat perbaikan moral, yang merupakan dasar utama untuk membentuk perilaku manusia yang mencegah perilaku keji dan tercela. Sebuah studi eksperimental menemukan bukti bahwa pengawasan dan hukuman dapat menjadi kebijakan anti korupsi yang efektif.

Namun, pemerintah harus lebih terbuka terhadap pandangan sampingan mereka dalam memberantas korupsi. Hukuman yang pantas untuk mencuri uang negara adalah perampasan semua harta benda yang timbul dan/atau berkembang dari kasus korupsi. Keterkaitan antara akses si koruptor terhadap hartanya menjadi alasan utama mengapa si koruptor tidak bisa dicegah untuk melakukan korupsi. Kemudian, langkah kedua adalah menerapkan hukuman maksimal. Penyidik, penuntut umum, dan hakim harus memiliki paradigma yang bias untuk menghukum pelanggar yang paling rasywah. Karena korupsi tidak hanya merugikan negara, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup generasi manusia.

Akan tetapi, sanksi sosial tersebut hanyalah salah satu opsi untuk meningkatkan pencegahan terhadap oknum koruptor. Namun, ini bukan tujuan utama, karena sanksi sosial saja tidak cukup untuk menjebak kejahatan luar biasa seperti korupsi. Penanggulangan terhadap oknum koruptor tetap harus menggunakan skema penyitaan harta benda dan penahanan maksimal. Untuk bisnis, pencegahan juga dicapai melalui pembubaran.

Sanksi sosial terhadap oknum koruptor hanyalah salah satu cara membuka pintu pikiran, sekaligus mengingatkan pemerintah bahwa negara tidak akan berumur panjang jika hanya dipandang sebelah mata untuk memberantas korupsi. Jika pemerintah tidak serius memberantas korupsi, cita-cita negara tidak lebih dari macan kertas.

Kesimpulan

Maraknya skandal etis yang terjadi khususnya pada dunia profesi akuntan mencerminkan adanya krisis etis yang melanda dunia etika bisnis dan profesi. Ini menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap para akuntan public. Ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih mendewakan materi, maka dapat memaksa terjadinya permainan uang dan korupsi. Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang membunuh jutaan orang dari waktu ke waktu dan dapat mennyebabkan kerugian finansial yang sangat parah bagi negara. Korupsi akan terus berlangsung selama masih terdapat kesalahan tentang cara memandang kekayaan dan selalu melalaikan tugas serta tanggungjawabnya. Maka dari itu penalaran modal (Moral reasoning) memainkan peran kunci dalam etika akuntan.

Pada kasus korupsi ini, seorang koruptor yaitu Ade ohoiwutuan dan wulung tidak mempunyai penalaran moral yang baik, atau bahkan mempunyai penalaran moral yang sangat rendah sehingga ia melakukan pelanggaran moral dan etika. Maka dari itu untuk meningkatkan penalaran moral para koruptor, sanksi psikososial menjadi salah satu solusi. Sanksi sosial dianggap sebagai hukuman psikososial yang efektif karena dinilai memberikan efek jera dari perspektif penalaran moral individu pelaku korupsi. Sanksi sosial adalah suatu bentuk hukuman yang dirancang untuk memberikan rasa malu kepada pelaku pelanggaran nilai, norma, dan moral yang berlaku di masyarakat.

Sanksi sosial hanyalah salah satu pilihan untuk meningkatkan penalaran moral bagi para koruptor. Tapi, sanksi sosial saja tidak cukup untuk meniadakan korupsi. Penanggulangan terhadap para koruptor tetap harus menggunakan skema penyitaan seluruh harta benda dan penahanan maksimal. Untuk bisnis, pencegahan juga dicapai melalui pembubaran. (*)