Ilustrasi (ruangriau.com)
Sebuah sarung dikibaskan, diayunkan, lalu digunakan sebagai senjata. Seharusnya itu hanya permainan—perang sarung yang penuh tawa dan adu ketangkasan. Tapi malam itu, permainan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap. Reyhan tak pernah pulang.
Oleh: Redaksi Ruangriau.com
Perang sarung yang biasa menjadi ajang seru-seruan kini berujung tragedi. Entah bagaimana, batas antara permainan dan kekerasan menjadi kabur. Empat anak lain, yang masih begitu muda, kini harus berhadapan dengan hukum. Keluarga Reyhan berduka. Masyarakat bertanya-tanya.
Bagaimana ini bisa terjadi? Sejak kapan perang sarung bukan lagi sekadar permainan, melainkan alat pembuktian kekuatan? Dan yang lebih penting—apa yang bisa kita lakukan agar ini tak terulang?
Di balik berita ini, ada luka yang lebih dalam. Luka seorang ibu yang kehilangan anaknya. Luka anak-anak yang terseret ke dalam kekerasan tanpa memahami konsekuensinya. Luka masyarakat yang tanpa sadar membiarkan generasi mudanya tumbuh dalam lingkungan yang mengabaikan empati.
Dulu, permainan adalah ruang bagi anak-anak untuk bersenang-senang, belajar kerja sama, dan membangun persahabatan. Tapi kini, banyak permainan justru berkembang menjadi ajang dominasi dan kekuatan. Kalah berarti dipermalukan, menang berarti harus menunjukkan superioritas.
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jika mereka tumbuh dalam lingkungan yang menormalkan kekerasan—di rumah, di sekolah, di jalanan—maka tidak mengherankan jika mereka mulai menganggap kekerasan sebagai bagian dari kehidupan.
Seberapa sering kita mengajarkan anak-anak tentang sportivitas? Seberapa sering kita mencontohkan bagaimana menerima kekalahan dengan kepala tegak? Atau tanpa sadar, justru kita menanamkan budaya bahwa “yang kuat yang bertahan”?
Di Mana Peran Orang Dewasa?
Anak-anak yang menjadi pelaku masih berusia 13-14 tahun. Di usia ini, mereka seharusnya masih sibuk bermain, bercanda, dan bermimpi tentang masa depan. Tapi bagaimana mungkin mereka bisa terlibat dalam tindakan brutal seperti ini?
Kita sering berbicara tentang "generasi yang hilang" tanpa menyadari bahwa kitalah yang membentuk mereka.
• Bagaimana pola asuh mereka? Apakah mereka tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, atau justru melihat kekerasan sebagai hal biasa?
• Seberapa banyak waktu yang kita habiskan untuk benar-benar berbicara dengan mereka? Atau kita justru lebih sibuk dengan urusan sendiri?
• Siapa yang membimbing mereka saat mereka menghadapi konflik? Atau kita membiarkan mereka mencari jawaban sendiri dalam lingkungan yang tak selalu baik?
Media Sosial: Ladang Kekerasan Tanpa Pengawasan
Di era digital, anak-anak tumbuh dengan paparan konten tanpa batas. Media sosial penuh dengan video perkelahian, bullying, dan budaya "geng" yang sering kali dianggap sebagai hiburan. Anak-anak yang tidak mendapatkan bimbingan bisa dengan mudah menganggap kekerasan sebagai hal yang wajar. Mereka meniru tanpa memahami konsekuensinya.
Jika kita tidak mengawasi apa yang mereka tonton dan dengan siapa mereka bergaul, bagaimana kita bisa berharap mereka tumbuh dengan nilai-nilai yang benar?
Hukuman atau Kesempatan Kedua?
Empat anak yang kini menjadi pelaku tentu harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Tapi apakah menghukum mereka akan menyelesaikan masalah? Ataukah ini hanya akan menciptakan lingkaran kekerasan yang baru?
Sistem peradilan anak harus benar-benar menjalankan perannya—bukan sekadar menghukum, tetapi juga membimbing. Anak-anak ini bukan hanya pelaku, mereka juga korban dari lingkungan yang gagal mengajarkan mereka tentang empati, tentang batasan, tentang nilai kehidupan.
Jika kita hanya fokus menghukum tanpa memperbaiki akar masalah, maka tragedi seperti ini akan terus terulang.
Refleksi untuk Kita Semua
Kisah ini bukan hanya tentang Reyhan. Ini adalah kisah tentang kita semua—tentang bagaimana kita mendidik anak-anak, tentang bagaimana kita menciptakan lingkungan yang aman bagi mereka.
Jika kita ingin mencegah tragedi serupa terjadi lagi, kita harus mulai bertindak:
• Orang Tua: Hadir dalam kehidupan anak-anak, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi juga kasih sayang dan perhatian. Jangan hanya menanyakan nilai sekolahnya, tapi juga tanyakan bagaimana perasaannya.
• Sekolah: Pendidikan emosional dan resolusi konflik harus diajarkan sejak dini, agar anak-anak tahu bagaimana menghadapi perbedaan tanpa kekerasan.
• Masyarakat: Jangan menutup mata terhadap perubahan di sekitar kita. Jika melihat anak-anak mulai menunjukkan tanda-tanda agresi, jangan diam.
• Pemerintah & Sistem Hukum: Pastikan sistem peradilan anak tidak hanya menghukum, tapi juga merehabilitasi dan membimbing mereka kembali ke jalur yang benar.
Apa yang Akan Kita Lakukan?
Hari ini, Reyhan telah tiada. Tapi berapa banyak Reyhan lain yang masih bermain di luar sana, tanpa kita sadari sedang menuju bahaya yang sama?
Kita bisa berduka. Atau kita bisa bertindak. Lebih peduli. Lebih hadir. Lebih bertanggung jawab terhadap anak-anak kita.
Jangan biarkan tragedi ini hanya menjadi berita yang hilang dalam ingatan. (*)