Agung Nugroho dan Bayang-Bayang Masa Lalu: Isu ‘Preman’, Integritas, dan Janji Kepemimpinan

Selasa, 18 Maret 2025

SENIN pagi itu, ruang rapat utama di Perkantoran Tenayan Raya dipenuhi para pejabat Pemerintah Kota Pekanbaru. Karpet merah dengan motif lingkaran abstrak membentang luas, meredam setiap langkah yang melintas di dalamnya. Cahaya putih dari lampu-lampu yang tertata simetris di langit-langit memantul lembut ke dinding-dinding beraksen kayu, menciptakan suasana yang hangat sekaligus tegas. 

Di bagian depan, meja panjang berukiran lambang daerah berdiri kokoh, menjadi pusat perhatian. Tiga pejabat duduk berjajar di sana—Penjabat Sekretaris Daerah Kota Pekanbaru Zulhelmi Arifin, Wali Kota Pekanbaru Agung Nugroho di tengah, dan Wakil Wali Kota Makarius Anwar di sisi kanan. Wajah mereka serius, mencerminkan betapa pentingnya pertemuan ini. 

Di sisi lain, para kepala OPD, camat, hingga lurah duduk berjejer di kursi-kursi yang menghadap ke depan. Pakaian dinas berwarna cokelat yang mereka kenakan seragam, tetapi ekspresi mereka beragam—ada yang fokus menyimak, ada yang sesekali berbisik pelan, dan ada pula yang mencatat sesuatu di buku kecilnya. 

Di tengah ruangan, sebuah proyektor tergeletak di atas meja kecil, seolah siap memutar data dan angka. Tetapi kali ini, kata-kata dari wali kota jauh lebih menarik perhatian. 

Dari ‘Preman’ ke Pemimpin Kota 

Tiba-tiba, suasana hening ketika Agung Nugroho berbicara. Suaranya tegas namun sedikit tertahan, seperti seseorang yang hendak mengungkap sesuatu yang berat. 

“Saya mau kasih tahu kalau ada cerita miring-miring tentang saya, seperti preman atau hal lain...” Ucapannya terhenti sesaat. 

Beberapa orang di ruangan itu menoleh, seakan ingin memastikan mereka tidak salah dengar. Ini bukan kalimat yang biasa keluar dari seorang wali kota dalam rapat resmi. Namun, Agung melanjutkan, dengan nada yang lebih dalam. 

“Bapak Ibu bisa lihat bagaimana kinerja saya sampai sekarang ini.” 

Pernyataan itu menggantung di udara. Seakan menantang setiap orang di ruangan itu untuk menilai sendiri, tanpa terpengaruh cerita-cerita lama yang mungkin masih beredar di luar sana. 

Sorot matanya menyapu ruangan, melewati puluhan pasang mata yang memperhatikannya. Tidak ada yang menyela. 

Integritas Tanpa Kompromi 

Agung tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan dengan pesan yang lebih serius—bahwa di bawah kepemimpinannya, tidak ada tempat untuk pungutan liar atau permainan kotor. 

“Saya nggak ada minta-minta Rp 10 juta ke OPD, ke camat juga nggak ada minta biaya safari Ramadan. Saya juga tidak ada minta THR,” katanya tegas. 

Di barisan kursi pejabat, beberapa orang tampak mengangguk kecil. Beberapa lainnya duduk lebih tegak, mendengarkan dengan saksama. 

“Saya ingatkan, jangan sampai ada dari kita yang ketangkap oleh APH (aparat penegak hukum), baik itu saya, OPD, camat, hingga lurah,” lanjutnya. 

Ruangan terasa lebih senyap. Kata-kata itu bukan sekadar peringatan biasa, melainkan pesan yang datang dari seseorang yang paham betul konsekuensinya. 

Bahkan, Agung menegaskan bahwa ia secara pribadi menjaga komunikasi dengan kepolisian dan kejaksaan agar pemerintahan yang dipimpinnya tetap bersih. “Saya tidak main-main, boleh tanya Pak Sekda, saya ingin clear,” ujarnya. 

Ia juga mengingatkan agar para pejabat di sekelilingnya waspada terhadap siapa saja yang mencoba mengatasnamakan dirinya untuk meminta uang. “Kalau ada dari ajudan hingga orang partai saya yang minta-minta, laporkan ke saya,” katanya dengan nada yang lebih berat. 

Beberapa kepala OPD saling melirik. Pesannya jelas—tidak ada toleransi bagi siapa pun yang mencoba bermain di celah abu-abu. 

Pesan Terakhir: Kerja untuk Masyarakat, Bukan untuk ‘Setoran’ 

Di akhir pertemuan, Agung mengembalikan fokus ke inti dari jabatannya: pelayanan masyarakat. 

“Saya ingin bapak ibu kerja saja secara maksimal untuk masyarakat,” katanya, kali ini dengan nada yang sedikit lebih lembut. 

Namun, sebelum menutup rapat, ia memberikan satu peringatan terakhir. “Kalau ada yang main-main di bawah, jangan bawa saya. Tanggung jawab sendiri.” 

Suasana ruangan kembali terasa berat. Tidak ada yang berbicara setelahnya, hanya tatapan-tatapan penuh makna yang bertukar di antara para pejabat. 

Di tengah ruangan yang penuh simbol kekuasaan dan administrasi, siang itu sebuah deklarasi dilontarkan: bahwa kepemimpinan Agung Nugroho akan berjalan tanpa kompromi terhadap praktik-praktik lama yang selama ini merusak birokrasi. 

Bagi sebagian orang, cerita masa lalunya mungkin akan selalu menjadi bahan pembicaraan. Namun, di ruangan itu, Agung tak membiarkan masa lalu mendefinisikan dirinya. Yang lebih penting adalah bagaimana ia memimpin hari ini—dengan tegas, dengan integritas, dan dengan janji untuk tetap bersih. (*)