Kanal

Opsi Selamatkan Indonesia di 2023: Pentingnya BLT untuk Jaga Daya Beli

JAKARTA (RUANGRIAU) - Resesi ekonomi pada 2023 tak terelakkan, menurut Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri. Ini karena tanda-tanda perlambatan ekonomi di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman semakin nyata.

Chatib berujar, terutama dari sisi ekspor. Karena 60% barang ekspor Tanah Air dalam bentuk komoditas energi yang kini harganya turun karena permintaanya melambat.

"Dan sudah terjadi, 25% harga batu bara turun, nikel sudah mulai melambat, maka ekspor kita tidak akan setinggi 2022 dan ini tercemin pada angka yang dimumkan BPS kemarin," kata dia dalam acara Bank Syariah Indonesia Global Islamic Finance Summit 2023, dikutip Jumat (17/2/2023).

Badan Pusat Statistik (BPS) pun telah mencatat pada Januari 2023 harga batu bara turun sebesar 16,15% secara bulanan atau month to month (mtm), demikian juga gas alam yang anjlok 40,53%, dan nikel turun sebesar 2,6%.

"Kalau global ekonomi itu melambat bukan tidak mungkin permintaan terhadap input untuk melakukan aktivitas ekonomi menurun, karena kalau aktivitas melambat dia tidak perlu energi terlalu banyak, komoditas terlau banyak maka 2023 kita akan melihat fenomena di mana harga komoditas dan energi tidak akan setinggi di 2022," ungkap Chatib.

Di sisi lain, pelemahan aktivitas ekonomi global itu juga telah memengaruhi perekonomian domestik, ia mengatakan tercermin dari impor barang modal yang anjlok 18,48% pada Januari 2023, turun lebih tajam dibandingkan penurunan ekspor yang sebesar minus 6,38%.

"Impor barang modal ini leading indicator mengenai investasi, karena kalau orang mulai tidak impor mesin artinya dia tidak menambah ekspansi produksinya. Maka enam bulan dari sekarang investasi akan mulai turun," tutur Chatib.

Karena dari sisi ekspor sudah terdampak, dan investasi dalam negeri juga melambat, Chatib mengatakan, satu-satunya opsi yang mampu menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 di level 4,5-5% adalah konsumsi dan investasi asing.

"Jadi kita akan berhadapan dengan situasi di mana perlambatan ekonomi tidak terhindarkan. Kalau engine ekspor kena maka pilihannya inevstasi dan konsumsi. Kemungkinannya hanya itu," tuturnya.

Dari sisi belanja pemerintah pun menurutnya tidak bisa banyak diharapkan seperti saat menghadapi krisis Covid-19. Sebab, pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk menjaga disiplin fiskal dengan mempertahankan defisit APBN di bawah 3% dari produk domestik bruto.

Karena itu, dengan terbatasnya belanja fiskal dan kebutuhan menjaga daya beli atau konsumsi masyarakat, yang perlu dilakukan pemerintah dalam memfokuskan anggaran belanja untuk mendukung konsumsi masyarakat berpendapatan menengah ke bawah.

"Maka itu hanya bisa mendorong growth kalau alokasi belanjanya fokus kepada middle dan lower income group karena itu akan memberikan purchasing middle power," ujarnya.

Dengan demikian, ia berpendapat, alokasi belanja pada 2023 harus dititikberatkan pada program-program seperti bantuan langsung tunai, program keluarga harapan, hingga dukungan program terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

"Maka dari itu saya selalu katakan pentingnya mengenai BLT, support UMKM, karean idenya itu adalah daya beli. Ini yang akan membuat growth-nya resilient," kata Chatib. (*)

Ikuti Terus RuangRiau

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER