Kanal

Laporan Dugaan Korupsi KKPA PTPN 5 di Kampar, Setahun Mengendap di Kejati Riau

PEKANBARU (RUANGRIAU.COM) - Indonesia Law Enforcement Monitoring (Inlaning) menyorot kinerja Kejaksaan Tinggi Riau menangani kasus dugaan korupsi di PT. Perkebunan Nusantara 5. Setahun laporan mereka mengendap. 

"Ini akan berakhir bulan Juni. Laporan kami sampaikan pada 25 Juni 2020. Setahun mengendap tanpa ada penanganan yang berarti," ungkap Direktur Inlaning, Dempos TB, Selasa (22/6/2021) kemarin.

Ia meminta Kejati Riau jujur dan lebih baik mengaku tidak mampu menangani laporan Inlaning. Sehingga pihaknya bisa mengambil langkah lain.

"Kejati Riau jujur saja kalau tidak mampu menangani laporan ini. Jadi, kita bisa laporkan ke Kejaksaan Agung," kata Dempos. Ia yakin, Kejagung lebih objektif menangani laporan tersebut. Apalagi penanganannya akan didukung oleh Menteri BUMN yang sedang bersih-bersih perusahaan pelat merah nasional.

Berdasarkan pemberitaan yang dia baca, laporan belum ditangani bidang Pidana Khusus pada Kejati Riau. Jika benar, ini membuktikan laporan Inlaning mengendap.

Inlaning melaporkan dugaan korupsi dalampengelolaan dana Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa-M) dalam pembangunan Kebun Kelapa Sawit di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar.  

Dempos mengurai dugaan korupsi yang diperkirakan merugikan negara lebih dari Rp. 100 miliar tersebut merupakan rentetan penyimpangan di perusahaan pelat merah itu.

Dikatakan Dimpos, ada empat hal yang menjadi menjadi fokus laporan. Pertama, dugaan ada penyalahgunaan keuangan kredit KKPA dalam pembangunan kebun atas kredit sebesar Rp. 54 miliar pada Bank BRI Agro Pekanbaru.

"Dana Rp54 Miliar habis, tetapi kebun tidak dibangun dengan baik. Hal ini terbukti dari kondisi fisik kebun dan sarana prasarana kebun seperti jalan poros, jalan blok, dan gorong-gorong yang tidak layak. Akibatnya, negara (PTPN V) harus menanggung pembayaran kredit pada Bank BRI Agro karena hasil produksi kebun kelapa sawit Pola KKPA yang dibangun PTPN V adalah kebun gagal," terang Dempos.

Bahkan 100 hektare dari lahan KKPA tersebut puso (gagal tanam), akan tetapi Sertifikat Hak Milik (SHM) dari lahan tersebut tetap diagunkan di Bank Mandiri Palembang.

"Ini artinya lahan puso tetap dibebani utang dan dana pembangunan lahan puso tersebut ke mana?" ujar Dempos.

Kedua, Inlaning menduga ada penggelembungan kredit pada saat pengalihan kredit dari Bank BRI Agro Pekanbaru ke Bank Mandiri Palembang karena kredit awal sebesar Rp54 miliar, setelah 10 tahun berjalan bukannya berkurang tetapi malah tambah besar menjadi Rp83 miliar pada Bank Mandiri Palembang.

Ketiga, terhadap besarnya kredit yang dicairkan oleh Bank Mandiri Palembang, Inlaning menduga ada permainan karena sangat tidak masuk akal kebun gagal dengan produksi rata-rata sekitar 320 ton/bulan pada tahun 2013 bisa dicairkan kredit sebesar Rp83 miliar dengan cicilan kredit Rp900 juta lebih perbulan. Pencairan kredit sebesar Rp83 miliar tersebut masuk ke rekening PTPN V.

Pencairan kredit yang tanpa Appraisal dari konsultan independen dan tanpa hasil penilaian fisik kebun oleh Dinas Perkebunan Kabupaten Kampar atau Provinsi Riau menimbulkan kerugian negara yang sebesar, karena kemampuan bayar Kopsa-M sangat minim akibat produksi kebun tidak sampai 0,5 ton/bulan.

"Perkiraan kita hingga berakhir kredit pada tahun 2023, negara (PTPN V) akan menanggung kerugian lebih dari Rp100 miliar, karena PTPN V merupakan penjamin (Avalist) berupa Coorporate Guarantee atas utang tersebut," jelasnya.

Keempat, Dempos menduga ada penyalahgunaan keuangan kredit pada Bank Mandiri Palembang karena sesuai dengan Perjanjian Kerja sama No. 07 tanggal 15 April 2013, kredit sebesar Rp. 83 miliar tersebut sebagian digunakan untuk perbaikan kebun KKPA dan sarana prasarana kebun KKPA. Tetapi tidak dipergunakan sebagaimana mestinya.

Ikuti Terus RuangRiau

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER